Mencermati Indonesia, sejak dulu hingga sekarang akan membawa kita untuk menyaksikan banyak hal. Salah satunya adalah kemunculan kelompok-kelompok yang mendukung individu tertentu secara fanatik. Individu yang menikmati fanatisme buta pendukungnya dapat dijumpai dalam berbagai bidang utamanya dalam politik dan agama.
Tulisan ini adalah tentang cerita masa lalu, tentang bagaimana orang Minangkabau menyikapi keberadaan tokoh mereka, yang dalam hal ini adalah ulama. Karena keterbatasan data, penulis sengaja membatasi “masa lalu” di sini dimulai pada era sekitaran awal abad 20 dan dalam konteks kaum muda Minangkabau. Perbendaharaan masa lalu adalah khazanah penting untuk memahami lebih jauh tentang siapa kita hari ini, yang mana sangat berguna untuk menentukan ke arah mana biduk akan diarahkan untuk menyongsong masa depan.
Orang Minangkabau dan Islam adalah perpaduan yang unik. Menurut Taufik Abdullah, teori C Geertz dimana masyarakat Muslim dibagi menjadi kelompok santri dan abangan hanya berlaku di Jawa, tapi tidak di Minangkabau. Buya Hamka pernah menjelaskan bahwa Islam di Minangkabau adalah perpaduan antara susu dengan air dan minyak. Yang mana ini berarti, memang kita dapat mudah mengidentifikasi aspek-aspek yang bersifat budaya, tapi kebanyakan budaya tersebut memperoleh semacam argumentasi religious yang mempertahankan keberadaannya. Sebagai contoh, harta pusaka tinggi yang diwariskan secara matrilineal disepakati sebagai wakaf komunal. Di Minangkabau tidaklah asing seorang tokoh adat adalah seorang ulama atau seorang ulama menjadi tokoh adat; menjadi pimpinan adat atau sekedar menjadi rujukan dari persoalan adat.
Sebagai tambahan dari itu, Minangkabau adalah kelompok masyarakat yang oleh para ahli, seperti Kato, Hadler dan lainnya, disebut sebagai masyarakat yang cenderung egaliter. Egalitarian Minangkabau adalah bukan benda asing yang didatangkan dari luar, melainkan sesuatu yang lahir dari kebudayaan mereka. Itu terlihat dari pepatah petitih Minangkabau tentang beberapa aspek kehidupan. Misalnya tentang kepemimpinan, bahwa seorang pemimpin adalah orang yang didahulukan hanya selangkah dan ditinggikan hanya satu ranting. Ada pepatah lain yang juga mengizinkan anak muda “melawan” guru yang memegang otoritas keilmuan atau melawan mamak yang memegang otoritas adat. Perlawanan itu diizinkan bahkan didorong selama dengan argumentasi dan kebenaran.
Posisi ulama di Minangkabau pada dasarnya adalah salah satu unsur utama dari konsep tungku tigo sajarangan. Secara tradisional, kepemimpinan di Minangkabau bersifat kolektif dimana musyawarah adalah metode pengambilan keputusan. Mereka yang terlibat langsung dalam kaki musyawarah terdiri dari tiga pihak, yaitu tokoh adat, ulama dan cerdik pandai. Ketiganya ibarat tungku yang memastikan bejana memiliki kedudukan yang seimbang. Adu argumentasi antara ketiganya adalah api yang dapat membuat keputusan menjadi “masak dan enak”.
Dari sini terlihat bahwa ulama di Minangkabau tidak memiliki kedudukan sebagai orang suci yang mana seluruh titahnya dianggap sebagai titah langit yang mesti dilakukan. Memasangkan ulama dengan dua unsur lainnya dalam kepemimpinan kolektif menunjukkan ada kesadaran bahwa ulama juga manusia yang memiliki keterbatasan, sehingga perlu jenis manusia lain untuk berdampingan dengannya. Ulama pasti menjadi rujukan dalam hukum agama, namun persoalan sosial perlu dipecahkan dengan mengumpulkan perspektif lain yang diperoleh dari pemangku adat dan cerdik pandai.
Sejak kemunculan semangat pembaharuan Islam di Minangkabau, yaitu pada awal abad ke 20, jalan untuk menjadi ulama terbuka lebar untuk semua anak Minangkabau. Taufik Abdullah menyatakan bahwa jika sebelum itu kebanyakan ulama berasal dari keluarga ulama juga, maka maraknya sekolah agama yang didirikan oleh kaum muda menjadikan siapapun bisa memperoleh status menjadi ulama. Salah satu yang cukup fenomenal adalah Syekh Muhammad Djamil Djambek. Beliau bukan berasal dari keluarga ulama, bahkan sempat menjadi parewa semasa mudanya.
Suasana egalitarian ala Minangkabau memungkinkan terjadinya perdebatan intelektual yang cukup baik. Awal abad 20 adalah dimana terjadi diskursus intelektual terbuka antara kaum muda dan kaum tua, antara pembaharu dan tradisionalis. Kaum muda pada umumnya adalah orang-orang dulunya tumbuh di lingkungan tradisionalis, keluar merantau, mendapat pencerahan, lalu kembali dengan ide baru sekaligus menggugat pemahaman lama. Misalnya Haji Rasul, memiliki ayah seorang imam tarikat tidak membuatnya segan menyerang praktik tarikat yang menurutnya sarat taqlid, bid’ah dan khurafat sehingga Muslim Minangkabau terhalang dari kemadjoean. Ini menyebabkan Haji Rasul diboikot oleh pengikut ayahnya. Padahal awalnya dia sangat diharapkan menjadi pemimpin berikutnya, melanjutkan peran sang ayah.
Dikenal luas sebagai anak Haji Rasul tidak membuat Buya Hamka mudah mengklaim status sebagai ulama Minangkabau. Terdapat suatu periode dimana dia mendapat gunjingan dan cemooh dari orang-orang se-Padang Panjang sebagai pemuda yang hanya cakap berpidato tapi tidak kuat di ilmu alat. Ini mendorongnya “kabur” ke Makkah untuk memperkuat ilmu alat. Terdapat masa lain ketika Buya Hamka terlibat perdebatan keras dengan Khatib Sulaiman, seorang tokoh kiri yang kemudian diakui Hamka sebagai salah satu sahabat terbaiknya. Itu semua diceritakan dengan apik oleh beliau sendiri dalam Kenang-kenangan Hidup.
Mendebat guru di lingkungan tradisionalis juga terjadi, dan dapat dilihat pada buku M Radjab, Semasa Kecil di Kampung. Tokoh pers nasional ini mengenang, bahwa ia pernah mempertanyakan tujuan belajar ilmu nahwu-sharaf kepada gurunya, yang mana pertanyaan itu tidak terjawab dengan baik. Memiliki ayah seorang ulama surau tradisionalis tidak menghalanginya untuk kritis terhadap lingkungannya, yang ia pikir tidak progresif. Bahkan ia juga kritis terhadap kelompok kaum muda di kampungnya, yang ia anggap suka menggampangkan urusan agama.
Secara tradisional, tampaknya budaya Minangkabau memang mengarahkan orang untuk lebih mempertimbangkan ide ketimbang sosok. Ini menyebabkan berkembangnya daya kritis dan minimnya kultus individu di Minangkabau, termasuk pada sosok ulama dan guru. Lawan mamak jo pituah, bantah guru jo kabanaran (lawan lah mamak dengan petuah dan bantah lah guru dengan kebenaran) mengandung nilai yang mesti dilestarikan. Pepatah ini mengajarkan kita pada beberapa tiga penting, yaitu: (1) mendukung sosok secara rasional bukan karena kultus, (2) memelihara daya kritis terhadap semua pihak, dan (3) bertanggung jawab atas daya kritis tersebut dengan cara membangunnya atas argumen yang masuk akal. Jika dengan ulama orang Minangkabau bisa menunjukkan sikap kritis, apalah lagi dengan sosok politisi. Wallahu a’lam bis shawab.
Featured image diambil dari https://hmasoed.wordpress.com/category/ulama-zuama-minangkabau/
<p class="has-drop-cap has-xs-font-size" value="<amp-fit-text layout="fixed-height" min-font-size="6" max-font-size="72" height="80">Featured image diambil dari https://id.wikipedia.org/wiki/Abdullah_AhmadFeatured image diambil dari https://id.wikipedia.org/wiki/Abdullah_Ahmad
Tinggalkan Balasan