“Beginilah Thawalib yang Saya Kenal”

Ada banyak sekolah yang memiliki nama Thawalib di Minangkabau, kendatipun yang terkenal hanya beberapa. Penulis sendiri adalah alumni dari salah satunya, yaitu Thawalib Padang. Alm ayah penulis adalah juga alumni Thawalib Padang, yang kemudian berkecimpung di Muhammadiyah dengan segala keterbatasan yang beliau miliki. Di kemudian hari, penulis dapat cerita dari Ayahanda RB Khatib Pahlawan Kayo bahwa mereka berdua adalah teman dekat, karena sama-sama mengajar di Thawalib Padang dan sama-sama aktif di Muhamadiyah. Nama terakhir adalah legenda hidup Muhammadiyah di Minangkabau. Ia adalah alumni Thawalib Padang Panjang.

Thawalib dan Muhammadiyah adalah dua hal yang identik. Banyak warga, aktivis, dan tokoh menonjol di perserikatan berasal dari Thawalib, tidak hanya Thawalib Padang Panjang tapi juga Thawalib-Thawalib lainnya.

Kedekatan Thawalib dengan Muhammadiyah memiliki akar sejarah. Parapan T Abdullah dalam bukunya Schools and Politics; Kaum Muda Movement in West Sumatra, menunjukkan bahwa saat Minangkabau belum mengenal Muhammadiyah, Thawalib adalah wadah dimana ide-ide pembaharuan pemikiran Islam diolah dan disebarkan oleh Kaum Muda Minangkabau. Madrasah yang berafiliasi pada ide pembaharuan Thawalib berdiri di banyak tempat di Minangkabau. Mereka dijalankan dengan manajemen terpisah, tapi disatukan oleh kesamaan ide dan gagasan. Beberapa madrasah lain didirikan dengan tidak menggunakan embel-embel Thawalib, tapi membawa gagasan yang sama, salah satunya adalah Diniyah Putri.

Paparan T Abdullah menunjukkan bahwa ketika Muhammadiyah diperkenalkan di Minangkabau pada pertengahan dekade ke dua abad 20, organisasi ini mengandalkan banyak alumni Thawalib atau setidaknya orang-orang yang bersinggungan dengan lingkaran Thawalib. Haji Rasul sebagai figur sentral dari introduksi Muhammadiyah di Minangkabau adalah salah satu pendiri utama Thawalib. Keterlibatan pengajar dan alumni Thawalib di Muhammadiyah Minangkabau adalah hal yang wajar, sebab Muhammadiyah adalah media perjuangan baru yang memungkinkan mereka untuk tidak hanya menjalankan agenda pembaharuan di Minangkabau secara lebih masif, tapi juga membantu mereka memiliki koneksi ke seluruh bagian Nusantara.

Kontribusi Kaum Muda lewat Thawalib pada kecintaan terhadap tanah air lewat pergerakan melawan penjajahan Belanda terlalu besar untuk dikesampingkan. T Abdullah memaparkan bahwa sekolah-sekolah Kaum Muda berkontribusi besar pada lahirnya kalangan-kalangan agamis terdidik yang berjuang melawan pendidikan Belanda. Sebagian langsung terjun dalam perjuangan lewat organisasi-organisasi modern. Ada pula yang mengkombinasikannya dengan perlawanan lewat media masa dan jurnal. Salah satunya adalah Jurnal yang berhubungan langsung dengan Thawalib Padang Panjang adalah “Doenia Achirat” (1922-1925).

Kemunculan Thawalib sebagai jaringan sekolah di awal abad 20 adalah hal yang luar biasa. Pertama, tidak mudah bagi Kaum Muda untuk teguh melawan arus dimana mendirikan sekolah ala Belanda dianggap meniru-niru orang kafir, terutama oleh Kaum Tua. Cap itu secara teologis tampaknya memiliki konsekwensi sosiologis yang berat, apalagi dalam konteks Minangkabau saat itu. Namun, Kaum Muda berhasil menunjukkan kepada masyarakat bahwa hal itu justru bermanfaat dan tidak seperti yang dianggap oleh Kaum Tua. Bahkan, seperti yang disebut oleh Zaim Rais dalam “The Minangkabau Traditionalists’ Response to The Modernist Movement”, upaya Kaum Muda dalam mendirikan sekolah ala Barat akhirnya juga ditiru oleh Kaum Tua untuk mempertahankan eksistensi mereka.

Kedua, juga tidak mudah mencari celah dari peraturan Belanda sehingga bisa berdiri sekolah Islam yang modern. T Abdullah memaparkan bahwa mulai akhir abad ke 19, Belanda memang mengizinkan nagari-nagari di Minangkabau untuk mendirikan sekolah atas persetujuan dan supervisi Belanda. Kebijakan itu didorong atas setidaknya dua faktor. Pertama, meningkatnya kebutuhan Belanda terhadap tenaga-tenaga lokal yang cakap yang dapat menjalan administrasi pemerintahan. Kedua, keterbatasan Belanda untuk mendirikan sekolah yang dapat langsung mereka biayai sendiri. Tentu saja Belanda tidak pernah membayangkan dan mengharapkan, kebijakan ini akan dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk mendirikan sekolah-sekolah agama. Namun akhirnya Kaum Muda dengan karakter kemadjoean yang begitu kental, berhasil mendirikan sekolah agama yaitu jaringan pendidikan Islam Thawalib secara legal.

Jadi, Thawalib dan orang-orangnya telah berkecimpung dalam ide dan gagasan besar pembaharuan pemikiran Islam di Minangkabau dan Nusantara. Sejak awal terlahir, Thawalib adalah tentang gerakan kemajuan, aksi ketimbang reaksi, kecerdasan, keteguhan dan kemandirian berfikir.

Tentu saja saya pribadi dan juga banyak pihak lain terus berharap, sekolah-sekolah Thawalib utamanya Perguruan Thawalib Padang Panjang tidak melupakan keagungan sejarah perguruan mereka, sehingga tidak terjebak pada hal-hal yang memicu kontroversi yang tidak perlu di tengah masyarakat. Aamiin. Wallahu a’lam bis shawab.

Featured image diambil dari: https://www.harianhaluan.com/news/detail/98259/109-tahun-perguruan-thawalib-sekolah-islam-modern-pertama-di-sumatera-barat

%d blogger menyukai ini: