Sebuah Catatan dari Kaji Jumat Muhammadiyah Edisi XXV, 05 Februari 2021
Tema yang dibahas pada Jumat tanggal 05 Februari 2021 itu adalah usulan dari Prof. Ismet sendiri. Ketika beliau mengirim pesan bahwa beliau berketetapan hati untuk judul tersebut, saya sempat terkejut karena tidak menyangka bahwa beliau akan membahas sesuatu yang tidak jauh dari kehidupan kita. Namun pada akhirnya saya insaf bahwa Minangkabau perlu juga dipandang dari jauh, dari mata para perantau yang telah berkelana. Bukankah sejak dulu, cerita dan pandangan perantau lah yang memunculkan inspirasi perubahan di Ranah Minangkabau?
Sebelum diskusi saya sempatkan diri membaca beberapa referensi tentang persoalan lansia di Minangkabau. Ternyata memang benar, bahwa ini adalah masalah sayat yang luput dari keseriusan berpikir banyak orang. Beberapa kali berita di media masa mengabarkan orang tua yang meninggal dalam sepi di rumah. Beberapa kali pula kabar burung disampaikan, tentang akhir hidup yang tragis dari beberapa lansia. Namun, selama ini itu hanya jadi kesedihan sesaat yang mudah hilang dan tidak pernah dibicarakan lagi, tidak pernah dipertanyakan lagi. Apakah diskusi itu akan memaksa kita berpikir serius tentang persoalan lansia?
Ternyata memang iya. Saya merasa paparan Prof Ismet memberikan nuansa yang aneh pada Zoom Meeting kali itu. Fakta-fakta berikut analisis yang beliau sampaikan menghadirkan kepiluan. Cerita tentang seorang ibu yang dititipkan di panti jompo lewat tipu daya anak kandung sendiri adalah tragedi. Ada beberapa cerita lain yang memiliki satu inti: bahwa mereka -para lansia- kecewa karena menjalani hidup dalam situasi yang tidak terbayangkan sebelumnya. Itu semua adalah tragedi. Berkumpul dengan anak cucu dalam situasi damai dan tenang, seperti yang dialami oleh orang tua mereka dulunya, tidak bertemu dalam kenyataan.
Ada nuansa kesedihan di ruang virtual siang itu. Ada pula rasa malu. Malu karena begitu sering kita mengagungkan adat istiadat Minangkabau, namun banyak orang-orang tua kita hidup dalam kesepian yang pedih. Selain paparan Prof Ismet, ada dua frasa lain dalam diskusi itu yang terus terngiang. “Bantu mereka masuk surga” kata Pak Hasril Chaniago. Lalu yang satu lagi kurang lebih begini “kami bahagia jika merasakan bahwa anak-anak muda memerlukan cerita dan pengalaman kami”, kata seorang peserta yang merupakan warga senior. Jika tidak salah Prof Zulhasril Nasir lah yang berkata demikian.
Saya merasa pertemuan siang itu begitu menuntut, menuntut kita untuk melaksanakan sesuatu. Yaitu menggerakkan potensi Muhammadiyah untuk membantu para lansia Minangkabau tetap stabil secara mental. Saya pribadi sempat mengabaikan ide macam begini. Namun pada akhirnya tersadar bahwa untuk apa kita mengundang orang untuk berbicara tentang soal kita, jika kita tidak menindak lanjutinya dalam bentuk aksi nyata?
Untuk itu lah saya usulkan sebuah rencana aksi, yang ditulis di sela-sela menulis disertasi. Sampai rencana aksi itu tersusun, saya cukup puas dan lapang hati sebab tuntutan intelektual tingkat awal sudah selesai diupayakan. Untuk selanjutnya adalah tergantung kebersamaan, sebab Muhammadiyah Senior College yang diusulkan itu hanya bisa terwujud jika kita berada dalam rasa dan pikiran yang sama.
Muhammadiyah Senior College sendiri adalah sebuah tawaran ide untuk Muhammadiyah agar dapat memenuhi tuntutan ideologisnya untuk berdakwah pada segment lansia. Ia adalah lembaga pendidikan non-formal dimana lansia menjadi “mahasiswanya”. Lembaga pendidikan adalah wadah yang baik untuk menjawab semua kebutuhan mental psikis lansia. Di sana mereka dapat menambah ilmu pengetahuan, memiliki kegiatan rutin, memiliki interaksi sosial, dan lain sebagainya.
Saya membayangkan jika Muhammadiyah Senior College ini berdiri, maka ia juga akan berfungsi sebagai katalis dari begitu banyak kegiatan di internal Muhammadiyah. Bagi UMSB dan Poltekes Aisyiah, ia akan menjadi ceruk untuk kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat. Ini juga membuka berbagai kemungkinan baru untuk kader-kader muda memberikan kontribusi pada dakwah persyarikatan. Ini diprediksi juga dapat menarik berbagai sumber daya manusia baru untuk terlibat dalam menyokong gerakan dakwah Muhammadiyah di Sumatera Barat.
Namun seperti yang disampaikan di awal, Muhammadiyah Senior College hanyalah sebuah ide. Ia tidak akan muncul tanpa kebersamaan, bersama dalam rasa dan pikiran tentang masalah sosial kita di Minangkabau. Wallahu a’lam.
Catatan:
Kaji Jumat Muhammadiyah Edisi XXV dilaksanakan atas kerjasama Bidang Hubungan Luar Negeri PWPM Sumatera Barat-FAI UMSB dan PWM Sumatera Barat. Mendatangkan seorang narasumber bernama Prof Ismet Fanany, diaspora Minangkabau yang bermukim di Melbourne dan mengajar di Deakin University. Penulis bertindak sebagai moderator.
Tinggalkan Balasan