Sebuah Catatan dari Kaji Jumat Muhammadiyah Edisi XXIV, tanggal 19 Februari 2021
Sebuah tradisi atau episode sejarah dapat begitu tertanam kuat dalam memori kolektif masyarakat. Aksi-aksi tokoh masa lalu yang telah lama meninggal dunia ataupun tradisi lama dapat menjadi inspirasi dari karakter dan tindakan generasi muda yang jauh di bawah mereka. Itu dapat terjadi selama memori dan tradisi dapat ditemukan lagi maknanya (reinvention). Itulah yang sementara ini saya pahami dari membaca sebuah artikel ilmiah ditulis oleh Powel, berjudul Reinventing the Tradition: Liberty Place, Historical Memory, and Silk‐stocking Vigilantism in New Orleans Politics.
Kaji Jumat Muhammadiyah edisi XXIV yang berjudul “Peran Tokoh Minangkabau Dalam Pembentukan NKRI” dalam perspektif saya adalah upaya untuk membangkitkan kembali memori kolektif Minangkabau tentang tokoh-tokoh besar mereka. Tema yang dibawakan oleh Pak Hasril Chaniago dan Prof Zulhasril Nasir itu kembali menyegarkan ingatan kita tentang peran M. Hatta, M. Natsir, Sjahrir, Charul Shaleh, Abdul Halim, Asaat, dan lain-lain dalam perumusan konsep NKRI dan impelementasinya.
Seperti yang ditulis Powell, kolektif memori tidak akan dapat menjadi inspirasi jika ia tidak mengalami personalisasi. Cara tema ini dibahas oleh narasumber dan bagaimana para peserta memberikan tanggapan saya lihat adalah sebuah proses personalisasi yang amat baik. Kita waktu itu tidak hanya berbicara sejarah dan data-datanya, tapi kita menerobos lebih dari pada itu. Ada upaya-upaya untuk memahami -meminjam istilah Sewell Jr- the logic of history atau logika sejarah; kenapa begini dan kenapa begitu. Sebagai tambahan dari itu, saya merasakan bahwa kita membicarakan tema tidak hanya pada sisi logis tapi juga rasa. Pakai raso jo pareso. Artinya, apa yang kita lakukan kemarin ini adalah sebuah proses yang disebut dengan personalisasi.
Ketika sejarah telah mengalami personalisasi, maka disana muncul upaya untuk menemukan ulang makna sejarah (reinvention). Proses ini terlihat jelas dalam diskusi yaitu ada upaya untuk menanyakan alasan di balik tindak tanduk pelaku sejarah itu, dan ada upaya untuk membandingkan dengan tindak-tanduk kita hari ini. Ini salah satunya terlihat dari pernyataan Prof Ismet yang mana kurang lebih dia berkata “kita sekarang ini sepertinya berpikir lebih kaku sebagai negarawan”. Terlepas dari setuju atau tidaknya pada kesimpulan sementara Prof Ismet itu, terlihat jelas bahwa ini adalah upaya untuk menemukan ulang makna sejarah sebagai kolektif memori.
Berdasarkan pemahaman ini, saya tidak setuju jika ada orang yang berkata bahwa membahas sejarah Minangkabau dan tokoh-tokohnya adalah upaya nostalgia masa lalu yang cenderung tidak berguna. Itu bisa saja benar jika tidak melewati proses seperti yang digambarkan di atas. Namun selama proses “mengenang masa lau” dilaksanakan dengan benar, maka ia adalah upaya untuk memperoleh inspirasi untuk menghadapi masa depan.
Sepertinya pada masa yang akan datang, Kaji Jumat Muhammadiyah akan banyak berbicara tentang sejarah dan tradisi seputar Minangkabau. Perlu kiranya untuk menjadikan pembicaraan hari ini sebagai model. Kita perlu memastikan, ketika berbicara tentang kedua hal di atas, kita perlu melakukan personalisasi dan berupaya untuk menemukan makna. Jika kita lupa dan gagal untuk memastikan ini, maka waktu dua-tiga jam untuk Kaji Jumat Muhammadiyah akan menjadi agak sia-sia. Seperti agak sia-sianya ketika kita menghabiskan menit-menit shalat, tapi lengah akan makna bacaan dan gerakan shalat itu sendiri. Wallahu a’lam.
Tinggalkan Balasan