Attacks on Al-Aqsa and Apathy of the World; Serangan Terhadap al-Aqsa dan Ketidakpedulian Dunia

Judul asli: Attacks on Al-Aqsa and Apathy of the World, oleh Ahsan Shafiq.

Diterjemahkan oleh Isral Naska

Siapa yang sangka keputusan pengadilan yang menyebabkan pengusiran paksa beberapa orang Palestina dari Syeikh Jarrah menjadi pemicu terjadinya serangan penuh terhadap penduduk Gaza. Ketika saya menulis ini, sudah lebih 24 jam berlalu sejak jet-jet tempur Israel melakukan pengeboman terhadap penduduk jalur Gaza yang malang. Ini menyebabkan total korban luka-luka di Gaza dan Tepi Barat berjumlah 700 orang, yang mana 500 di antaranya harus dirawat di rumah sakit. Keadaan ini sudah berlangsung selama seminggu sejak terjadinya serangan sporadis bahkan brutal terhadap orang-orang yang tengah shalat di Masjid al-Aqsha, masjid yang dikenal sebagai masjid suci ketiga. Karena situasi itu, penduduk Muslim Gaza dan Tepi Barat terpaksa menyambut Idul Fitri di tengah pertumpahan darah yang mengerikan dan harus memanggul mayat-mayat, ketika Muslim lainnya bersiap-siap untuk merayakan Idul Fitri.

Rakyat Palestina sudah lama terjebak dalam rentetan penderitaan akibat tindak tanduk negara apartheid Israel. Negara itu senantiasa membuat sengsara rakyat Palestina dengan melakukan pengeboman terhadap para wanita dan anak-anak. Israel juga melakukan banyak penghancuran rumah dan pengusiran paksa. Fakta inilah yang mendasari Sam al Arian, seorang profesor America berdarah Palestina, berkata: “apa yang sedang terjadi di Syeikh Jarrah dan Masjid al-Aqsa adalah lanjutan dari penzaliman hak-hak rakyat Palestina oleh Zionis…Tujuan utama gerakan Zionis adalah untuk mengusir mereka dari tanah mereka dan mendirikan pemukiman Yahudi di tanah itu. Itu adalah sudah menjadi tujuan Zionis sejak dulu dan itu lah yang mereka lakukan sekarang.” Karena itu serangkaian pengusiran paksa yang sedang terjadi adalah bagian dari rencana Zionis untuk konsisten mewujudkan emigrasi terorganisir orang-orang Yahudi dan menyapu bersih orang-orang Palestina dari seluruh daerah mereka.

Pengerahan alat-alat berat untuk menghancurkan desa-desa orang Palestina dan mengusir mereka dari rumah mereka telah dilakukan terus menerus sejak Maret 2020. Lebih dari 163 rumah dan bangunan telah dihancurkan di Jerusalem Timur, yang menyebabkan terusirnya 359 rakyat Palestina termasuk 167 anak. Kendatipun hal itu bukan hal baru, namun bagaimana peristiwa belakangan ini dapat terjadi? Awal tahun ini Pengadilan Distrik Jerusalem menetapkan setidaknya enam keluarga harus meninggalkan rumah mereka di Syeikh Jarrah pada bulan Mei, padahal mereka telah hidup di sana dari generasi ke generasi. Pengadilan yang sama juga memutuskan agar 7 keluarga lain harus meninggalkan rumah mereka selambatnya pada tanggal 1 Agustus. Secara keseluruhan, 58 orang, termasuk 17 anak-anak dipaksa untuk meninggalkan rumah-rumah mereka untuk memberi ruang bagi pemukiman baru orang-orang Yahudi. Untuk meredam perlawanan publik terhadap penggusuran yang akan segera dilakukan terhadap rumah-rumah keluarga Palestina yang terletak di kawasan Syeik Jarrah itu, pihak Israel memasang penghalang di Masjid Al-Aqsha pada tanggal 12 April, sehingga orang-orang Palestina di Tepi Barat tidak dapat melaksanakan shalat di sana. Ini memicu protes melawan keputusan pengadilan yang dilakukan oleh banyak pemuda pada tanggal 13 April 2021. Seiring provokasi yang terus dilakukan pihak Israel, protes pun membesar. Ketika protes menguat, barikade yang menutup Masjid al-Aqsa berhasil dihancurkan, polisi Israel mundur dan rakyat Palestina berhasil menguasai kembali gerbang Damaskus di Masjid Al-Aqsa.

Walaupun demikian, tentara Israel tidak berhenti melakukan penggusuran paksa terhadap keluarga Palestina sejak awal bulan ini. Setelah bentrok jarak dekat dengan pemuda Palestina pada minggu pertama Mei, polisi Israel menyerang jamaah shalat Masjid al-Aqsa yang terletak di kawasan kota tua Jerusalem pada Jumat, tanggal 07 Mei. Serangan brutal itu menyebabkan 205 jamaah luka-luka, 88 orang di antaranya dilarikan ke rumah sakit. Sementara yang lain, mendapat perawatan jalan. Serangan brutal tentara penjajah Israel pada tanggal 08 Mei, menyebabkan 100 orang Palestina luka-luka, banyak yang terkena peluru karet dan stunt grenade yang dipakai pasukan Israel.

Rentetan kejadian itu akhirnya memancing reaksi dunia. Turki menjadi yang terdepan dalam hal ini. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyebut serangan terhadap Masjid al-Aqsha sebagai “kejahatan keji” untuk menegaskan dukungannya terhadap Palestina. Wakil presiden Fuat Oktay menyebut tindakan Israel sebagai “kejahatan perang” dan “kejahatan kemanusiaan.” Reaksi juga kemudian ditunjukkan oleh Perdana Menteri Pakistan, Imran Khan. Ia menyerukan agar seluruh dunia melakukan intervensi dan mewujudkan perdamaian di daerah itu. Iran menyeru PBB dan badan internasional yang berkaitan agar melakukan tugas mereka untuk melawan kejahatan perang Israel. Beberapa negara lain seperti Turkish Republic of Northern Cyprus (TRNC), Lebanon, Tunisa, Mesir, dan Indonesia turut mengutuk serangan Isral pada komplek Masjid al-Aqsha.

Di hari “Quds Day” yang rutin diselenggarakan tiap tahun, para demonstran di Iran, Pakistan, Iraq, Gaza dan Syiria mengadakan demonstrasi untuk menunjukkan dukungan mereka. Setelah serangan terhadap penduduk sipil, negara-negara Muslim berkumpul di depan konsulat Israel. Ribuan orang melakukan demonstrasi pada hari Senin yang lalu di kedutaan besar Israel di Ankara dan konsulat mereka di Istanbul. Hal yang sama juga dilakukan di negara-negara lain seperti Pakistan dan UK. Protes dilakukan di penjuru UK untuk menunjukkan solidaritas terhadap al-Aqsha. Protes yang sama juga terlihat di banyak negara lain. Setelah terjadi di Mesir dan Jordan, aksi juga terjadi di kedutaan besar Israel di Amman, mengutuk tindakan Tel Aviv yang terus menaikkan eskalasi serangan terhadap penduduk Palestina di daerah pendudukan Israel di Jerusalem Timur.

Respon dunia Barat dan organisasi internasional tidak terlalu kentara. Prancis, Jerman, Spanyol dan Inggris mendorong Israel untuk menunda pembangunan pemukiman di daerah pendudukan di Tepi Barat. PBB juga menghimbau Israel untuk menghentikan pengusiran paksa di daerah yang diserobot Israel di Jurusalem Timur. PBB juga memperingati bahwa tindakan itu dapat dikategorikan kejahatan perang.

Sementara itu, Hamas sebelumnya memperingatkan Israel untuk melakukan pembalasan jika eskalasi dari pihak Israel tidak dihentikan. Diduga pembalasan yang dimaksud Hamas itu dilakukan dengan menembakkan roket. Israel yang sedang melakukan agresi di Tepi Barat lalu kemudian bersiap untuk meluncurkan serangan bersenjata terhadap Gaza. Akibat pengeboman oleh pesawat-pesawat Israel di Gaza, 24 orang dilaporkan meninggal dunia dalam kurang dari 24 jam. 9 orang korban meninggal adalah anak-anak. Ini terjadi tidak lama setelah pihak barat bersikap apatis (tidak peduli)/setengah-setengah dalam mengutuk Israel. Setelah terjadi saling serang antara Israel dan Hamas, pihak barat lalu mengulang-ulang retorika lama yang menyalahkan Hamas atas kekerasan yang terjadi. Atau setidaknya mereka mengkritisi kedua belah pihak, yang mana hal ini mengaburkan kritik terhadap kekejian tindakan apartheid Israel. Sekjen PBB melakukan pertemuan membahas kekacauan yang terjadi di Jerusalem, namun tidak mengeluarkan pernyataan apapun. Juru bicara pemerintah Amerika Serikat, Ned Price, menyebut serangan roket Hamas sebagai “tindakan yang tidak dapat diterima,” sambil menutup mata atas kekerasan yang dilakukan oleh pihak Israel. Sekretaris pemerintahan Amerika Serikat, Antony Blinken, menyatakan bahwa serangan roket dari Gaza harus dihentikan secepatnya, dan menyeru seluruh pihak untuk mengurangi ketegangan. Inggris juga turut mengutuk serangan roket dari Gaza. Menteri luar negeri Jerman, Heiko Maas berkicau di Twitter “tidak ada yang dapat menjustifikasi roket yang ditembakkan ke penduduk sipil Israel.”

Banyak media barat juga mengulang-ulang pernyataan sumbang yang menyebut serangan Israel sebagai pembelaan diri. Melihat fakta ini, penulis dan akademisi Denijal Jegic menulis bahwa “media barat yang mengaburkan Israel sebagai penyebab kekerasan telah menyebabkan pemahaman yang salah tentang keseimbangan kekuatan antara mereka dan rakyat Palestina… Kenyataannya, satu pihak adalah rezim apartheid yang dipersenjatai senjata nuklir yang memiliki kekuatan hukum, politik dan militer terhadap pihak lain yang tengah memperjuangkan dan mempertahankan hak-hak dasar mereka.”

Reaksi ephemeral (reaksi yang tidak bertahan lama) dari negeri-negeri Muslim adalah permasalahan di balik serangan terhadap kota suci dan setiap kali Gaza diserang. Ketika serangan terhadap rakyat Palestina dimulai, pemerintahan-pemerintahan kita menyuarakan rangkaian pengutukan, namun sulit untuk melahirkan ide nyata untuk melawan tindakan Zionis. Selama sikap seperti ini bertahan, pernyataan sporadis mengutuk Zionis tidak akan cukup untuk memastikan keamanan rakyat Palestina di tanah mereka. Selama kesadaran Muslim masih mati, wanita dan anak-anak Palestina akan selalu berjuang di Jalur Gaza, seperti halnya 313 orang tentara perang Badar.   

Link artikel asli: https://ilke.org.tr/attack-on-al-aqsa-and-apathy-of-the-world/3030

Sumber gambar: https://www.inews.id/news/internasional/pemimpin-hamas-ismail-haniya-peringatkan-israel-jangan-sentuh-masjid-al-aqsa

%d blogger menyukai ini: